Postingan

Sewa Dibayar Rambut di Kepala

 Pagi itu, mentari baru saja menyengat, tapi hawa di sekitar kos-kosan sudah terasa gerah. Arman, dengan kaus merah longgar dan celana panjang kain yang sedikit kusut namun tetap rapi, melangkah santai menyusuri lorong petak-petak kamar.  Usia Arman baru 24 tahun, sarjana yang belum lama merayakan kelulusannya itu baru itu kini harus melaksanakan mandat Ayahnya untuk mengurus kosan, warisan kakeknya. Matanya dengan jeli, memastikan semuanya tertata tanpa masalah. Ini hari pertamanya resmi jadi pengurus, dan ia ingin terlihat cekatan, meski sebenarnya ia lebih suka bersantai di balik laptopnya. Baru saja ia hendak memeriksa kran air di ujung lorong, sebuah pintu di salah satu petak terbuka. Sesosok gadis mungil keluar, membawa ember dan alat cuci. Rambutnya hitam legam, panjangnya menjuntai hingga pantat, diikat asal-asalan namun tetap terlihat tebal dan indah. Wajahnya manis, sebenarnya, tapi tertutup oleh raut lelah dan pakaiannya yang sederhana, bahkan sedikit lusuh: rok hit...

Kirana Juga Kepincut Hape Baru

Udara siang yang gerah berbaur dengan aroma sisa-sisa masakan dan keringat di kantin yang ramai. Suara sendok beradu dengan piring, tawa renyah, dan obrolan riuh rendah anak-anak berseragam memadati setiap sudut. Di salah satu meja kayu yang agak usang, Kirana dan Maya duduk berdekatan, menikmati makan siang di sela waktu istirahat. Kirana, dengan wajah manis dan kulit putih bersihnya, tampak asyik menyuap nasi. Jilbabnya yang rapi membingkai wajahnya yang ceria. Di sebelahnya, Maya dengan kulit kuning langsat yang juga manis, tampak sedikit gelisah sambil sesekali melirik ke arah Kirana. Tangan Maya tak henti memainkan ponsel baru yang berkilauan di tangannya. "Wih, Hape baru nih ya!?" celetuk Kirana sambil menoleh, matanya membulat sedikit melihat gadget di tangan sahabatnya. Nada suaranya terdengar agak bercanda, tak menyangka. Maya sedikit tersentak, lalu mengangguk pelan dengan senyum canggung. "Eh, iya nih... Hehe." "Busett," Kirana meletakka...

Jual Rambut Demi SPP

 Dini duduk di tepi tempat tidurnya, tangan gemetar memegang selembar kertas tagihan SPP sekolah. Angka di sana terasa begitu besar, apalagi setelah ayahnya meninggal bulan lalu. Keluarganya sekarang tenggelam dalam utang, dan ibunya sudah bekerja seharian hanya untuk bisa menyediakan makan sehari-hari. Jika ia tidak membayar uang sekolah ini, ia tidak akan bisa mengikuti ujian kelulusan. Padahal, ia sudah berada di tahun ketiga SMK—tinggal selangkah lagi ia bisa mendapatkan ijazah dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Rambut hitamnya yang panjang terurai hingga pinggang, sedikit kusut karena ia terus-menerus memainkannya saat berpikir. Dini memang selalu dikenal cantik, dengan tubuh ramping dan wajah yang manis. Tapi saat ini, kecantikan itu tidak bisa memberinya uang. Dari luar, terdengar suara ibunya sedang berbicara dengan tetangga tentang pinjaman lagi. Dini menggigit bibir, tapi segera berhenti. Ia tidak ingin menambah be...