Jual Rambut Demi SPP

 Dini duduk di tepi tempat tidurnya, tangan gemetar memegang selembar kertas tagihan SPP sekolah. Angka di sana terasa begitu besar, apalagi setelah ayahnya meninggal bulan lalu. Keluarganya sekarang tenggelam dalam utang, dan ibunya sudah bekerja seharian hanya untuk bisa menyediakan makan sehari-hari. Jika ia tidak membayar uang sekolah ini, ia tidak akan bisa mengikuti ujian kelulusan. Padahal, ia sudah berada di tahun ketiga SMK—tinggal selangkah lagi ia bisa mendapatkan ijazah dan mencari pekerjaan yang lebih baik.


Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Rambut hitamnya yang panjang terurai hingga pinggang, sedikit kusut karena ia terus-menerus memainkannya saat berpikir. Dini memang selalu dikenal cantik, dengan tubuh ramping dan wajah yang manis. Tapi saat ini, kecantikan itu tidak bisa memberinya uang.


Dari luar, terdengar suara ibunya sedang berbicara dengan tetangga tentang pinjaman lagi. Dini menggigit bibir, tapi segera berhenti. Ia tidak ingin menambah beban ibunya. Ia harus mencari cara mendapatkan uang sendiri.


"Harus ada jalan," bisiknya pada diri sendiri sambil menatap layar ponselnya. Matanya berbinar saat melihat beberapa lowongan kerja online, tapi kebanyakan membutuhkan ijazah atau pengalaman. Ia tidak punya keduanya.


Dini mengusap wajahnya, lalu tanpa sengaja jarinya menekan aplikasi Twitter. Saat menjelajahi linimasa, matanya tertarik pada sebuah cuitan: *"Membeli rambut panjang dengan harga tinggi!"*


Jantungnya berdebar. Ia segera membuka cuitan itu, membaca syarat dan ketentuannya. Harganya cukup menggiurkan—bahkan mungkin bisa menutupi SPP-nya. Tanpa pikir panjang, ia langsung menghubungi nomor yang tertera.


*Mungkin ini jalan keluarku,* pikirnya, sambil menatap rambutnya yang panjang di cermin.





Setelah mengirim pesan ke nomor yang tertera di Twitter, Dini menatap layar ponselnya dengan harap-harap cemas. Jarinya mengetuk-ngetuk meja, menunggu balasan. Tak lama, notifikasi masuk.


"Bisa kirim foto rambut? Dari depan, samping, dan belakang. Kalau bagus, harganya bisa tinggi."


Dini segera bergegas ke cermin. Ia mengumpulkan rambut hitamnya yang panjang, lalu mengambil beberapa foto dari berbagai sudut. Tangannya sedikit gemetar saat mengirimkannya.


"Rambutnya masih alami? Nggak pernah diwarnai atau dikeriting?" tanya si pembeli setelah melihat fotonya.


"Iya, masih asli. Pernah dipotong ujungnya aja setahun lalu," balas Dini cepat.


"Oke, bagus. Kalau mau deal, bisa datang ke tempatku. Aku punya barbershop di daerah Mangga Dua. Nanti kita bicara lebih detail."


Dini menelan ludah. Mangga Dua tidak terlalu jauh, tapi ia belum pernah ke sana sendirian. Tapi kebutuhan uangnya lebih besar daripada rasa takutnya.


"Berapa kira-kira harganya kalau rambutku dipotong sebahu?" tanyanya, mencoba memastikan.


"Tergantung kondisi rambut dan kesepakatan. Tapi kalau memang bagus kayak di foto, minimal 2 juta. Bisa lebih kalau mau potongan lebih pendek."


Dini terkesiap. Dua juta? Itu lebih dari cukup untuk SPP-nya! Jantungnya berdegup kencang.


"Oke, aku bisa datang besok. Lokasinya di mana tepatnya?"


Si pembeli mengirimkan alamat dan nomor kontaknya. "Nama aku Anton. Datang aja jam 10 pagi, masih sepi."


Setelah percakapan selesai, Dini memandang lagi fotonya di cermin. Rambutnya yang panjang dan hitam berkilau sudah seperti bagian dari dirinya. Tapi ia menghela napas.


"Ini demi kelulusan," bisiknya, mencoba meyakinkan diri.





Keesokan harinya, Dini berdiri di depan sebuah barbershop sederhana di kawasan Mangga Dua. Tangan sedikit berkeringat, ia menarik napas dalam sebelum mendorong pintu kaca itu terbuka. Bel berbunyi lembut, dan seorang pria dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans segera menoleh dari balik meja kasir.


"Kamu Dini, kan?"


Dini mengangguk, tangannya tak sadar memainkan ujung rambutnya.


"Anton?"


"Iya, bener. Aku udah lihat fotomu, tapi aslinya lebih bagus," ujar Anton sambil mengangguk-angguk, matanya sekilas menyapu panjang rambut Dini.


Dini tersipu, tapi segera mengalihkan pembicaraan. "Jadi... gimana prosedurnya? Aku butuh uangnya buat bayar SPP."


Anton menyilangkan tangan. "Aku punya channel YouTube, isinya mostly tentang potong rambut. Kamu mau jadi modelku? Nanti rambutmu dipotong pendek, terus aku rekam buat konten. Harganya bisa lebih tinggi dari yang aku kasih tau kemarin."


Dini mengernyit. "Direkam? Tapi..."


"Gak perlu khawatir, videonya cuma fokus ke proses potong rambut aja. Dan bayarannya worth it, bisa sampai 3 juta kalau kamu mau potong lebih pendek lagi."


Tiga juta. Jumlah itu membuat Dini tertegun. Uang segitu tidak hanya bisa menutupi SPP, tapi juga membantu ibunya membayar beberapa tagihan.


"Tapi dipotong seberapa pendek?"


Anton menggaruk dagu. "Kalau mau harga maksimal, sampai sepanjang dagu. Bob pendek gitu."


Dini menelan ludah. Rambut sepanjang dagu berarti hampir semua panjangnya akan hilang. Tapi uang tiga juta terlalu menggiurkan untuk ditolak.


"Oke, deal. Tapi bayarannya hari ini juga ya?"


Anton tersenyum. "Pasti. Aku transfer langsung setelah selesai."


Dini mengangguk pelan, mencoba menenangkan degup jantungnya. Ia sudah tidak bisa mundur lagi.


"Kalau gitu, kita mulai sekarang?" tanyanya, suara sedikit bergetar.


Anton mengacungkan jempol. "Siap-siap dulu di kursi sana. Aku siapin kameranya."





Dini duduk di kursi barber yang terbuat dari kulit hitam, tubuhnya terasa kaku. Dia menatap pantulannya di cermin besar di depannya, melihat rambut hitam panjangnya yang terurai di atas bahu. Kursi ini jauh lebih tinggi dari yang dia kira, membuat kakinya sedikit menggantung.


Anton sibuk mengatur tripod di samping kursi, memastikan kamera handheld-nya menangkap sudut yang tepat. "Kita bakal rekam dari beberapa angle biar lebih cinematic," ujarnya sambil menyesuaikan lensa.


Dini mengamati gerakan Anton dengan perasaan campur aduk. "Harus bagus-bagus rekamannya ya," godanya, mencoba mencairkan suasana meski jantungnya berdegup kencang.


Anton terkekeh. "Santai aja, ini udah biasa buat aku. Kamu cuma perlu duduk manis, biar aku yang ngatur semuanya."


Setelah kamera utama siap, Anton mengambil smartphone dan mengatur kamera kedua sebagai cadangan. "Ini buat backup kalau ada yang error di kamera utama," jelasnya sambil menaruh ponsel di rak kecil.


Dini memperhatikan setiap detil persiapan itu. "Kok ribet banget sih?" tanyanya setengah bercanda.


"Konten yang bagus butuh persiapan yang bagus juga," jawab Anton tanpa menoleh, tangannya masih sibuk memeriksa pencahayaan.


Setelah semua peralatan siap, Anton memandang Dini lewat cermin. "Udah siap? Kita mulai sekarang ya."


Dini menarik napas dalam, lalu mengangguk. Tangan dinginnya memegang erat lengan kursi. "Siap."


Anton menekan tombol rekam pada kedua kamera, lalu mengambil gunting dari meja kerjanya. Suara khas logam beradu terdengar ketika dia membuka dan menutup gunting itu sekali sebagai isyarat.


"Action," bisiknya.





Anton memulai dengan menyisir seluruh rambut Dini ke belakang, memastikan tidak ada helai yang kusut. Tangannya yang terampil memisahkan bagian atas rambut dan mengikatnya dengan klip, menyisakan lapisan bawah yang akan dipotong terlebih dahulu.


"Pertama kita rapikan dulu bagian bawahnya ya," ujarnya sambil mengambil gunting bermata tajam.


Suara "krrrt-krrrt" gunting memotong rambut hitam yang halus mulai terdengar. Helai demi helai jatuh ke lantai, membentuk tumpukan kecil di sekitar kursi. Anton bekerja dengan presisi, sesekali memeriksa panjangnya dengan menyentuh ujung rambut Dini yang tersisa.


Dini menatap lurus ke depan, merasakan setiap potongan yang membuat rambutnya semakin ringan. Matanya mulai berkaca-kaca saat melihat tumpukan rambut hitam di lantai yang dulunya adalah bagian dari dirinya selama bertahun-tahun.


Setelah lapisan bawah selesai, Anton melepas klip dan mulai memotong lapisan atas. Dia menggunakan teknik point-cutting untuk memberikan tekstur pada bob cut-nya, membuat potongan terlihat lebih modern.


"Bagian sampingnya kita bikin agak layered biar lebih hidup," jelas Anton sambil memiringkan kepala Dini sedikit.


Ketika gunting terakhir menyelesaikan potongan di sekitar telinga, Anton mengambil pengering rambut dan brush untuk menata hasil potongannya. Udara hangat mengalir di sekitar kepala Dini yang kini terasa sangat ringan.


Di cermin, Dini melihat sosok asing dengan rambut sepanjang dagu yang rapi mengikuti garis rahangnya. Bob cut itu sebenarnya cocok dengan bentuk wajah ovalnya, membuat penampilannya terlihat lebih segar dan modern. Tapi bagi Dini, ini bukan lagi dirinya.


"Gimana? Bagus kan?" tanya Anton bangga sambil memutar-mutar kursi perlahan.


Dini memaksa senyum kecil. "Aneh... rasanya kayak bukan aku lagi." Tangannya secara refleks meraih ke belakang, mencari rambut panjang yang sudah tidak ada, hanya menemukan ujung rambut yang sekarang menyentuh lehernya.


Anton tertawa ringan. "Biasa lah awal-awal gitu. Nanti juga terbiasa. Lagian kan lebih praktis, cuci rambut jadi cepet."


Dini mengangguk pelan, tapi dalam hatinya, ada perasaan kehilangan yang dalam. Rambut panjangnya yang selalu dia rawat dengan hati-hati kini tinggal kenangan. Rasanya seperti bagian dari identitasnya ikut terpotong hari ini.


"Jadi... kita selesai ya?" tanyanya, berharap proses yang membuatnya tidak nyaman ini segera berakhir.


Anton memandangnya dengan ekspresi baru. "Sebenarnya... aku ada penawaran lain." Matanya berbinar dengan ide baru. "Kalau kamu mau lanjut potong lebih pendek lagi, aku bisa kasih harga lebih tinggi."





Dini mengerutkan kening, tangannya refleks meraih rambut barunya yang sudah sepanjang dagu. "Lebih pendek lagi? Maksudnya gimana?"


Anton menggaruk dagu sambil mempertimbangkan kata-kata. "Gini, konten rambut pendek itu lagi laku banget di channelku. Kalau kamu mau lanjut dipotong sampai benar-benar pendek... atau bahkan plontos, aku bisa naikin harga sampai 5 juta."


Mata Dini membelalak. "Plontos? Kayak botak gitu?" Suaranya naik beberapa oktaf tanpa disadari.


"Iya, full botak licin. Tapi kalau nggak nyaman, bisa juga cuma dipendekin banget, kayak buzz cut." Anton mengambil mesin cukur dari meja dan menyalakannya sebentar untuk demonstrasi. Bunyi dengung mesin itu membuat bulu kuduk Dini berdiri.


Dini menggeleng cepat. "Nggak, aku nggak mau botak. Rambut segini aja udah..."


"5 juta loh," Anton menyela. "Itu bisa buat bayar SPP sampe lulus, plus masih sisa buat kebutuhan lain."


Dini menatap bayangannya sendiri di cermin. Wajahnya terlihat polos dengan potongan bob pendek itu. Bayangkan kalau benar-benar botak. Tapi 5 juta... uang segitu bisa meringankan beban ibunya.


"Kalau... kalau cuma dipendekin aja, nggak full botak, berapa?" tanyanya dengan suara kecil.


Anton mengernyit. "3,5 juta. Tapi kalau botak full, fix 5 juta. Deal?"


Dini menunduk, memandangi tumpukan rambutnya yang berserakan di lantai. Dadanya terasa sesak. Ini bukan sekadar tentang rambut lagi, tapi tentang bertahan hidup.


"Oke," akhirnya bisiknya. "Tapi... tolong cepetan ya."


Anton langsung berseri-seri. "Mantap! Aku siapin alatnya dulu." Dia bergegas mengambil handuk dan beberapa pisau cukur baru dari lemari, sementara Dini menutup mata rapat-rapat, mencoba menenangkan diri.


"Kamu nggak bakal nyesal kok," kata Anton sambil menyemprotkan air hangat ke kepala Dini yang sudah semakin pendek. "Bentuk kepalamu bagus, pasti cocok."


Dini tidak menjawab. Dia hanya bisa membayangkan betapa anehnya nanti wajahnya tanpa sehelai rambut pun. Tapi demi uang itu, demi keluarganya, dia harus kuat.





Anton menghidupkan mesin cukurnya, suara dengungnya memenuhi ruangan. "Kita mulai dari yang paling pendek dulu ya," ujarnya sambil menggerakkan alat itu dari tengkuk ke atas kepala Dini.


Rambut hitam yang tersisa berjatuhan seperti hujan kecil, meninggalkan jejak kehitaman di kulit kepalanya. Anton bekerja dengan cepat, menggerakkan mesin cukur bolak-balik sampai seluruh kepala Dini tersisa rambut sepanjang beberapa milimeter saja.


"Bagian yang paling seru nih," kata Anton sambil menyiapkan pisau cukur dan krim cukur. Dia mengoleskan busa putih tebal di seluruh permukaan kepala Dini, membuatnya terlihat seperti ditutupi salju.


Dini menatap cermin dengan pandangan kosong. Dia bisa merasakan dinginnya krim cukur di kulit kepalanya yang tak lagi terlindungi. Ketika pisau cukur mulai menyentuh kulitnya, tubuhnya gemetar.


"Jangan gerak, nanti bisa terluka," Anton mengingatkan sambil dengan hati-hati mengikis sisa rambut dari dahi ke belakang. Setiap gesekan pisau meninggalkan kulit kepala yang licin dan berkilau.


Begitu proses selesai, Anton mengelap kepala Dini dengan handuk basah lalu mengoleskan lotion pendingin. "Nih, silakan lihat hasilnya," ucapnya sambil memutar kursi menghadap cermin besar.


Dini membuka mata perlahan. Yang terpantul di cermin adalah sosok asing dengan kepala putih licin seperti telur. Tak ada lagi rambut hitam panjang yang dulu menghiasi bahunya. Wajahnya yang dulu selalu tertutupi oleh tirai hitam rambut, sekarang terlihat telanjang dan rentan.


Tangannya gemetar saat menyentuh kepalanya yang botak. Kulitnya yang halus terasa aneh di bawah jari-jarinya. "Ini... aku ya?" bisiknya, suaranya pecah.


Air mata mulai menggenang di matanya saat menyadari apa yang baru saja hilang. Rambut yang dulu selalu dia rawat dengan sampo mahal, yang selalu dia sisir dengan hati-hati setiap pagi, sekarang hanya tinggal kenangan. Rasanya seperti kehilangan bagian dari identitas dirinya sendiri.


"Biasa lah pertama kali gitu," kata Anton sambil membersihkan alat-alatnya. "Nanti juga tumbuh lagi."


Tapi bagi Dini, ini bukan sekadar tentang rambut yang akan tumbuh kembali. Ini tentang harga diri yang terenggut, tentang pengorbanan yang harus dilakukan demi sesuap nasi. Air mata panas akhirnya menetes deras, mengalir di pipinya yang sekarang terlihat lebih tirus tanpa bingkai rambut.


Dia menunduk, tak kuat lagi melihat bayangannya sendiri. Kepala botaknya yang licin memantulkan cahaya lampu, membuatnya merasa semakin terpapar dan tak berdaya. Setiap tetes air mata yang jatuh ke lantai seakan membawa serta sisa harga dirinya yang tersisa.


Anton melihat air mata Dini yang tak berhenti mengalir. Dengan gerakan cepat, ia mengambil sebuah hijab katun sederhana dari lemari kecil di belakang meja kerjanya.


"Nih, pakai ini dulu buat nutupin kepala," ujarnya, menyodorkan hijab warna krem ke tangan Dini yang masih gemetar.


Dini mengangkat wajahnya yang basah, matanya merah bengkak. Tanpa bicara, ia menerima hijab itu dan langsung membungkus kepalanya yang botak dengan gerakan terburu-buru, seolah malu jika ada yang melihat.


"Makasih," bisiknya sambil menarik ujung hijab ke depan untuk memastikan tak ada bagian kulit kepalanya yang terlihat.


Anton mengangguk, lalu mengambil amplop cokelat dari laci meja. "Nih, sesuai janji. Lima juta."


Dini menerimanya dengan kedua tangan, merasakan ketebalan uang di dalamnya. Tangannya masih gemetar saat menyimpannya ke dalam tas kecilnya.


"Kamu mau minum atau istirahat dulu?" tanya Anton, tapi Dini sudah berdiri dan berjalan ke pintu.


"Aku pulang dulu," jawabnya singkat tanpa menoleh.


Panas terik menyambut Dini saat keluar dari barbershop. Tangannya terus memegang hijabnya, memastikan tak ada angin yang bisa menerbangkan kain penutup kepala itu. Setiap langkah terasa berat, tapi setidaknya uang di tasnya memberi sedikit penghiburan.


Sesampainya di rumah, ibunya yang sedang menyapu teras langsung mengerutkan kening.


"Dini, kok pakai hijab? Kamu kan nggak pernah..."


Dini cepat-cepat masuk ke dalam, menghindari tatapan ibunya. "Aku... aku coba-coba aja, Bu. Lagian kan bagus buat nutupin leher dari panas," jawabnya sambil buru-buru menuju kamar.


Ibunya tampak ingin bertanya lebih lanjut, tapi Dini sudah menutup pintu kamarnya. Di balik pintu, ia melepas hijab itu perlahan, tangannya kembali menyentuh kulit kepalanya yang licin dan asing.


Di depan cermin kamarnya, Dini menatap bayangannya yang tak dikenali. Air mata kembali mengalir saat ia membuka amplop berisi uang, lembaran merah dan biru yang menjadi pengganti rambut panjangnya. Uang yang akan menyelamatkan pendidikannya, tapi meninggalkan luka di hatinya.


Dari luar, ibunya mengetuk pintu. "Dini, kamu baik-baik aja kan?"


Dini cepat-cepat mengenakan hijabnya lagi sebelum membuka pintu sedikit. "Aku baik, Bu. Cuma capek aja," katanya sambil memaksakan senyum.


Ibunya mengangguk ragu, tapi memilih tidak mengejar. "Nanti makan malem sudah siap ya."


Pintu kamar tertutup lagi, meninggalkan Dini sendirian dengan kepalanya yang botak dan hati yang hancur. Uang di tangannya terasa berat - bukan hanya sebagai alat pembayaran, tapi juga pengingat pengorbanan yang harus ia lakukan hari ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kirana Juga Kepincut Hape Baru

Sewa Dibayar Rambut di Kepala