Kirana Juga Kepincut Hape Baru
Udara siang yang gerah berbaur dengan aroma sisa-sisa
masakan dan keringat di kantin yang ramai. Suara sendok beradu dengan piring,
tawa renyah, dan obrolan riuh rendah anak-anak berseragam memadati setiap
sudut. Di salah satu meja kayu yang agak usang, Kirana dan Maya duduk
berdekatan, menikmati makan siang di sela waktu istirahat.
Kirana, dengan wajah manis dan kulit putih bersihnya, tampak
asyik menyuap nasi. Jilbabnya yang rapi membingkai wajahnya yang ceria. Di
sebelahnya, Maya dengan kulit kuning langsat yang juga manis, tampak sedikit
gelisah sambil sesekali melirik ke arah Kirana. Tangan Maya tak henti memainkan
ponsel baru yang berkilauan di tangannya.
"Wih, Hape baru nih ya!?" celetuk Kirana sambil
menoleh, matanya membulat sedikit melihat gadget di tangan sahabatnya. Nada
suaranya terdengar agak bercanda, tak menyangka.
Maya sedikit tersentak, lalu mengangguk pelan dengan senyum
canggung. "Eh, iya nih... Hehe."
"Busett," Kirana meletakkan sendoknya.
"Bukannya kemarin lu ngeluh Bokap lu nggak mau beliin? lu yang bilang
sendiri kan lu bokek dan ga bisa beli sendiri," tanya Kirana, rasa
penasarannya langsung memuncak.
Maya menggaruk jilbabnya yang sedikit gatal. "Emm...
gimana ya..." Ia mencoba mengalihkan pandangan. "Ga penting itu
mah."
"Ayolah, Na, penasaran nih gua!" Kirana sedikit
mendorong lengan Maya. "Kasih tahu dong! Ini kan hape model baru!"
Maya menghela napas, akhirnya menyerah. "Oke, oke...
Gua kasih tahu. Tapi nggak di sini. Nanti pas pulang sekolah aja."
Kirana mengerutkan dahi, namun ekspresi penasaran di
wajahnya tidak surut. "Pulang sekolah? Lama bener deh."
"Pokoknya nanti gua kasih tau," jawab Maya
misterius.
Bel berbunyi, menandakan waktu istirahat telah usai. Kantin
yang tadinya ramai seketika berubah menjadi arus manusia yang bergegas kembali
ke kelas masing-masing, kirana segera menghabiskan makanannya lalu membuang
plastik wadah makanannya, kemudian mereka bergegas ikut kembali ke kelas.
Waktu terasa begitu cepat, begitu bel pulang berbunyi,
Kirana dan Maya langsung bergegas keluar gerbang sekolah, bergabung dengan
kerumunan siswa lain yang berhamburan.
Mereka berjalan sebentar menuju jalan utama untuk menunggu
angkot. Tak butuh waktu lama, sebuah angkot berhenti di depan mereka. Kirana
dan Maya segera naik, duduk di bangku belakang yang terasa gerah. Angkot melaju
santai di jalanan utama yang tidak begitu ramai, dengan semilir angin masuk
sesekali dan suara mesin yang stabil menjadi latar belakang perjalanan mereka.
Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka turun di sebuah kawasan ruko yang tidak
terlalu jauh dari sekolah.
Kawasan ruko itu terlihat cukup tenang, didominasi oleh
deretan bangunan dengan tampilan depan yang seragam. Kirana mengikuti langkah
Maya menyusuri trotoar, matanya mengamati sekeliling. Langkah mereka terhenti
di sebuah ruko yang berada di pojok. Di atas pintu kaca ruko itu terpasang
papan nama sederhana bertuliskan "RR Barbershop Ladies & Gents".
Maya menoleh pada Kirana, senyum tipis terukir di bibirnya.
Tanpa menunggu, Maya mendorong pintu kaca itu dan melangkah masuk, diikuti oleh
Kirana yang masih diliputi tanda tanya.
Pintu kaca bergeser terbuka, mengantar Kirana dan Maya masuk
ke dalam ruangan berpendingin udara yang terasa kontras dengan gerahnya udara
di luar. Aroma khas produk perawatan rambut menyeruak lembut. Interiornya
minimalis namun terlihat modern dan bersih, dengan beberapa kursi barber kulit
hitam mengkilap menghadap cermin besar.
Seorang pria yang sedang membersihkan area di dekat salah
satu kursi barber menoleh. Ia tersenyum ramah melihat kedatangan mereka.
Perawakannya lumayan tinggi, dengan potongan rambut rapi yang menambah kesan
cakep dan karismatik.
"Siang Mas," sapa Maya duluan dengan senyum.
"Wah, Dek Maya! Tumben mampir lagi" balas pria
itu, senyumnya melebar saat mengenali Maya."Mau potong rambut lagi
nih?" godanya ringan, matanya melirik sekilas ke arah kepala Maya yang
tertutup jilbab.
Maya terkekeh pelan. "Enggaklah, Mas. rambut saya kan
belum panjang lagi ," jawabnya santai, mengiyakan bahwa rambutnya memang
masih sangat pendek. "Saya ke sini mau ngenalin teman saya." Maya
sedikit mendorong bahu Kirana.
Rian menoleh ke arah Kirana, mengamati gadis manis di
samping Maya. "Oh, Saya Rian, pemilik tempat cukur ini," katanya
sopan sambil mengulurkan tangan.
Kirana menyambut uluran tangan Rian dengan sedikit canggung.
"Saya Kirana, Mas."
"Dek Kirana dan Dek Maya, mari silakan duduk
dulu," ajak Rian ramah, mengarahkan mereka ke sebuah meja kecil dengan dua
kursi di sudut ruangan.
Mereka bertiga duduk. Rian memulai obrolan ringan untuk
mencairkan suasana. "Jadi, Dek Kirana sekolah bareng D Maya?"
"Iya Mas, kami satu kelas" jawab Kirana.
"Tinggalnya di mana sekarang?"
"Nggak jauh dari sekolah juga, Mas. Naik angkot bentar
aja."
Setelah basa-basi singkat, Maya menoleh pada Kirana.
"Na, lu tunggu sini bentar ya, "Gua mau ngobrol dulu sama Mas Rian di
dalem."
Kirana sedikit bingung, namun mengangguk patuh. "Oke
deh, May, tapi jangan lama-lama."
Kirana beranjak dari meja dan duduk di kursi tunggu yang
ditunjuk Maya. Sementara itu, Maya dan Rian berdiri dari duduk mereka, lalu
berjalan menuju sebuah pintu yang tersembunyi di bagian belakang ruangan. Pintu
itu tertutup rapat di belakang mereka, meninggalkan Kirana sendirian di area
depan barbershop.
Kirana duduk, pandangannya mengikuti pintu yang baru saja
tertutup itu. Ia melihat sekeliling tempat itu, lama kelamaan rasa penasaran
yang sudah dipendamnya sejak di kantin tadi kembali berkecamuk di benak Kirana,
membuatnya merasa sedikit gelisah dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Rasa penasaran Kirana akhirnya memuncak. Diam-diam, Kirana bangkit dari kursi tunggu,
langkahnya pelan mengarah ke pintu ruangan di belakang yang tadi dimasuki Maya
dan Rian. Ia ingin tahu apa yang sedang dibicarakan di dalam sana.
Namun, baru saja Kirana melangkah beberapa tapak, pintu itu
bergeser terbuka. Maya dan Rian melangkah keluar bersamaan.
"Eh! Mau ke mana lu Na?" tegur Maya, sedikit kaget
melihat Kirana sudah beranjak dari kursinya.Kirana sedikit salah tingkah.
"Emm... Nggak, May. Agak bete aja ditinggal sendirian, kalian ngomongin
apa sih?" jawabnya jujur.
Maya terkekeh pelan, senyumnya meminta maaf. "Maaf deh,
maaf, nanti gua kasih tau ya."
Maya berjalan mendekati Kirana, raut wajahnya berubah
sedikit serius. "Oke, sekarang lu jangan kaget ya..."
Kirana mengerutkan dahi, bingung dengan peringatan Maya.
Sebelum Kirana sempat bertanya, Maya membuka ikatan jilbabnya dengan gerakan
perlahan. Jilbab itu melorot.
memperlihatkan kepala Maya yang tertutup ciput. Ia kemudian membuka
ciputnya.
Kirana sontak kaget, matanya membesar. Rambut hitam panjang
sepunggung yang dulu selalu rapi di balik jilbab Maya, kini lenyap tak bersisa.
Di sana hanya ada kulit kepala yang
ditutupi rambut super pendek yang mungkin panjangnya tidak lebih dari
setengah senti, rambut-rambut itu menempel rapat seperti beludru tipis. Tekstur
kulit kepala Maya yang terlihat halus dan kontur kepalanya terlihat jelas di
bawah cahaya lampu barbershop. DI mata Kirana Ini pemandangan yang sangat
kontras dengan Maya yang ia kenal selama ini, dengan
Kaget, Kirana spontan melangkah mendekat Maya, ia mengamati
kepala Maya dari dekat. Ekspresi kaget di wajahnya perlahan berubah... menjadi
senyum geli. Akhirnya, tawa meledak dari bibirnya. "Anjirrr, May! Lu
botak?!" Tanpa sadar, tangan Kirana mengusap-usap lembut permukaan kepala
Maya yang botak.
Maya tertawa geli saat Kirana menyentuh kepalanya, tapi juga
sedikit kesal. Maya mencubit pinggang Kirana. "Ih! Jangan pegang-pegang
ah! Geli tau na!"Setelah tawanya mereda, Kirana bertanya, masih memegang
kepala Maya, "Terus... nyokap bokap lu gimana?! Gimana lu jelasin ke
mereka?!"
Maya mengangkat bahu santai, senyumnya masih tersisa.
"Gua bilang lagi pengen aja." Ia tersenyum nakal. "Lagian, kan
gua pake jilbab, Na. Jadi nggak kelihatan."
Maya tersenyum miring, senyum yang penuh rahasia dan sedikit
provokatif. "Anyway, lu kan tadi nanya gimana gua bisa beli hape
baru" Maya bergeser sedikit, menunjuk Rian dengan dagunya. "Nah,
uangnya dapet dari sini."
Kirana menoleh ke Rian, alisnya terangkat, masih sedikit
bingung "Dari sini?"
"Iya." Maya mengangguk yakin. "Mas Rian bisa
tolong jelasin detailnya?" Maya menoleh pada Rian, memberi isyarat.
Rian tersenyum tipis, senyum seorang pebisnis yang tahu apa
yang dia tawarkan. "Jadi gini, Dek Kirana," mulainya dengan suara
tenang, profesional namun ada nada yang menarik di sana. "Di barbershop
ini, selain melayanani cukur rambut pria dan wanita, kami juga ada program
khusus." Dia jeda sebentar, membiarkan informasi itu meresap. "Kami
mencari model perempuan untuk sesi cukur rambut yang akan kami rekam dan
dokumentasikan."
Rian melanjutkan penjelasannya. "Untuk satu sesi video
dan foto, kami memberikan bayaran awal sebesar tiga juta rupiah." Ia
menjelaskan lebih lanjut, "Video proses cukurnya akan kami masukkan ke
beberapa platform online, seperti YouTube dan TikTok. Untuk foto-fotonya, akan
kami publikasikan di situs web dan media sosial barbershop kami." Rian
mengangguk singkat. "Dan selain bayaran sesi itu, rambut yang sudah
dipotong juga akan kami beli secara terpisah. Harganya tergantung kualitas dan
panjang rambutnya, tentu saja."
Mata Kirana melebar. Tiga juta? Ditambah harga rambut?
Maya menyikut pelan lengan Kirana, matanya berbinar penuh
semangat. "Gua aja kemarin dapet lima setengah juta! Makanya bisa langsung
beli hape, kan lumayan banget!"
Lima setengah juta. Angka itu berputar-putar di kepala
Kirana. Ia melirik ponsel baru yang dipegang Maya, Kirana lalu kembali menatap
Maya yang kini botak nyaris plontos. Uang sebanyak itu hanya dengan mencukur
rambut? Ia bisa membeli hape impiannya juga.
Dalam benaknya, ia sudah membayangkan ponsel baru yang
selama ini hanya bisa ia lihat di iklan atau di tangan teman-temannya.
Kesempatan ini terasa seperti jalan pintas yang tiba-tiba terbuka lebar. Ia
menoleh ke arah Rian, menghela napas pelan, dan mengangguk mantap.
"Oke, Mas," ucap Kirana, suaranya sedikit ragu
namun ada tekad di sana. "Saya mau."
Rian tersenyum, senyum yang memancarkan kepuasan.
"Baik, Dek Kirana. Kalau begitu, boleh saya lihat rambutnya dulu? Saya
perlu menilai kualitas dan panjangnya untuk menentukan harganya."
Kirana mengangguk lagi. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu
dengan perlahan mulai membuka ikatan jilbabnya. Kain itu terlepas,
memperlihatkan kepala Kirana yang tertutup ciput. Dengan hati-hati, ia
melepaskan ciput itu. Rambut hitamnya yang tebal, yang selama ini selalu
tersembunyi rapi di dalam gulungan, kini terurai. Menggulung rambut sepanjang
itu memang butuh usaha. Setelah simpulannya terlepas, rambut hitam legam milik
Kirana jatuh menjuntai ke bawah, melewati pinggang dan berhenti di sekitar area
pantatnya. Panjangnya sekitar 80 sentimeter, lurus, tebal, dan tampak sangat
sehat.
Rian melangkah mendekat, matanya berbinar melihat helaian
rambut Kirana yang panjang dan indah itu. Ia mengangkat sebagian rambut Kirana,
merasakannya di antara jemarinya. "Wah... Rambut Dek Kirana bagus
sekali," pujinya tulus. "Tebal, lurus, dan panjangnya luar
biasa."
Kirana merasa pipinya sedikit memanas mendengar pujian itu.
Ia tersipu, matanya menunduk.
"Dengan kualitas seperti ini, dan panjangnya yang jauh
di atas rata-rata..." Rian mengusap dagunya sebentar, berpikir. "Saya
berani hargai rambutnya saja dua juta rupiah, Dek. Itu di luar bayaran untuk
sesi video dan fotonya ya."
Dua juta rupiah hanya untuk rambutnya? Kirana terkejut
sekaligus takjub. Totalnya jadi lima juta rupiah, bahkan lebih dari yang Maya
dapatkan kemarin!
"Nah, sekarang kita bicara soal potongannya,"
lanjut Rian. "Dek Kirana mau dipotong sependek apa?"
Kirana berpikir sejenak. Ia memang butuh uangnya, tapi
membayangkan rambut sepanjang ini dipotong habis terasa sedikit... menakutkan.
"Emm... kalau di-bob sebahu atau sedagu aja, Mas?" tawar Kirana.
"Biar nggak terlalu pendek. Masih kelihatan cewek, kan?"
"Kalau cuma di-bob, harganya tetap lima juta, Dek.
Tapi..." Ia tersenyum lagi, senyum yang kali ini penuh dengan godaan.
"Bagaimana kalau Dek Kirana mau dipotong cepak tentara?"
Mata Kirana melebar mendengar kata 'cepak'. Cepak tentara?
Seperti potongan rambut laki-laki?
"Kalau Dek Kirana bersedia dipotong cepak, seperti
tentara, saya akan tambah bayarannya satu juta rupiah. Jadi totalnya enam
juta," suaranya sedikit lebih rendah dan intens
Tawaran Rian membuat Kirana terdiam. Enam juta rupiah.
Jumlah yang sangat menggiurkan. Tapi... cepak tentara? Itu berarti rambutnya
akan dipangkas sangat pendek, hampir seperti milik Maya, hanya sedikit lebih
panjang di bagian atas. Membayangkannya saja sudah membuat perutnya terasa
aneh. Rambut sepanjang ini, yang sudah ia rawat bertahun-tahun, akan hilang
dalam sekejap.
Maya yang melihat keraguan di wajah Kirana segera angkat
bicara. "Na, ambil aja! Itu tawaran bagus banget, lho!" Maya
berbisik, matanya penuh semangat. "Enam juta itu banyak banget! Lu bisa
beli hape yang lu mau itu, terus sisanya bisa ditabung."
"Tapi... cepak, May?" bisik Kirana kembali, masih
ragu.
"Ya terus kenapa?" balas Maya santai. "Kan lu
pake jilbab, Na. Nggak ada yang bakal liat juga rambut lu kayak apa di dalem.
Yang penting kan dapet duitnya!" Maya tersenyum meyakinkan. "Lagian,
rambut kan tumbuh lagi."
Argumen Maya ada benarnya. Kirana selalu memakai jilbab.
Tidak ada teman-teman sekolahnya, tetangga, atau bahkan keluarganya (selain
orang tuanya) yang akan melihat perubahan drastis pada rambutnya. Dan enam
juta... Uang itu bisa mewujudkan impiannya untuk punya ponsel baru seperti
Maya, dan masih sisa banyak untuk ditabung. Godaan itu terlalu kuat.
Kirana menarik napas panjang, memandang Maya, lalu beralih
ke Rian yang menunggu dengan sabar. Ia membayangkan uang itu, membayangkan
ponsel baru di tangannya. Keputusan sudah bulat.
"Oke, Mas," kata Kirana akhirnya, suaranya
terdengar lebih mantap kali ini. "Saya mau dipotong cepak."
Senyum Rian merekah. "Bagus sekali, Dek Kirana.
Keputusan yang tepat."
Setelah kesepakatan tercapai, Rian segera beranjak. Ia
mengambil beberapa kamera kecil dan tripod dari sebuah lemari, lalu menatanya
di beberapa sudut ruangan, mengarah ke kursi barber utama. Setelah memastikan
semua kamera siap merekam, ia kembali menghampiri Kirana.
"Oke, Dek Kirana, sebelum kita mulai proses cukurnya,
kita ambil beberapa foto dulu ya," kata Rian. "Untuk dokumentasi
awal."
Kirana mengangguk. Ia berdiri di dekat kursi barber, rambut
panjang hitamnya yang terurai menjuntai hingga sepantat terlihat sangat kontras
dengan suasana barbershop. Rian mulai mengambil foto Kirana dari berbagai
sudut: dari depan, dari samping kiri dan kanan, dari belakang yang
memperlihatkan panjang rambutnya, dan beberapa foto close-up wajahnya yang
manis dengan latar belakang rambut hitam pekat di belakangnya. Rambutnya yang
panjang terurai itu menjadi fokus utama dalam sesi foto ini, seolah mengabadikan
keindahan terakhirnya sebelum akan dipangkas habis.
Setelah sesi foto dengan rambut panjangnya selesai, Rian
tersenyum puas. "Oke, Dek Kirana. Sekarang kita siap untuk
prosesnya."
Ia menuntun Kirana menuju salah satu kursi barber yang
paling besar dan nyaman di tengah ruangan. Cermin lebar di depannya memantulkan
bayangan Kirana dengan rambut panjang yang masih terurai.
"Silakan duduk di sini, Dek," ujar Rian sopan.
"Baik, Mas," jawab Kirana, jantungnya mulai
berdebar lebih cepat. Ia melangkah naik ke kursi tinggi itu dan duduk perlahan.
Rasanya berbeda duduk di kursi ini, di bawah sorotan lampu, dengan
kamera-kamera yang sudah terpasang mengarah padanya.
Rian berdiri di belakangnya. Ia mengambil selembar kertas
tipis berwarna putih, melingkarkannya di sekeliling leher Kirana, tepat di
bawah garis rambutnya.
Kemudian, Rian mengambil selembar cape barber berwarna
gelap. Kain itu terbentang lebar, lalu dipakaikan menutupi tubuh Kirana dari
leher hingga ke bawah, melindungi bajunya dari potongan rambut yang akan
berjatuhan. Kertas tipis di lehernya berfungsi sebagai alas agar cape tidak
langsung bersentuhan dengan kulit.
Kirana duduk terpaku, tangannya menggenggam erat tepian
kursi. Matanya menatap pantulan dirinya di cermin, melihat rambut panjangnya
yang sebentar lagi akan berubah total. Ada kegugupan yang jelas terlihat di
wajah manisnya.
Maya yang berdiri di dekatnya, merasakan ketegangan Kirana.
Ia tersenyum jahil. "Tenang aja, Na, ntar kalo lu botak kan gw jadi ada
temennya" kata Maya riang
"Ah elu mah bisa aja May," balas Kirana sambil
tersenyum, Candaan Maya membuat kegugupannya Kirana sedikit mengendur.
Setidaknya ia tidak sendirian, ada Maya yang menemaninya.
Rian berdiri di belakang kursi barber, tangannya terulur
untuk mengumpulkan helaian rambut Kirana yang panjang dan tebal. Ia menyatukan
seluruh mahkota hitam itu di bagian belakang kepalanya, membentuk kucir kuda
yang besar dan berat. Kirana bisa merasakan gerakan tangannya di rambutnya,
sensasi tarikan lembut saat semua helai dikumpulkan menjadi satu ikatan padat.
Setelah kuciran itu terbentuk, Rian mengambil sebuah alat
yang membuat Kirana sedikit menegang: clipper. Alat itu dinyalakan,
mengeluarkan suara dengungan listrik yang stabil dan getaran samar di udara.
BZZZ!
Suara itu terdengar nyaring di telinga Kirana, terasa begitu
dekat.
Rian memegang kuciran rambut Kirana dengan satu tangan,
sementara tangan yang lain membawa clipper yang bergetar itu mendekat ke
pangkal kuciran. Kirana menahan napas, matanya terpaku pada cermin. Ia melihat
pantulan clipper itu semakin dekat ke leher bagian belakangnya, ke titik di
mana semua rambut panjangnya menyatu.
BZZZ!
Clipper itu menyentuh rambut. Suaranya berubah menjadi deru
yang lebih berat saat mata pisaunya memotong ratusan, ribuan helai rambut
sekaligus. Sensasi dingin dari logam clipper terasa sesaat, diikuti oleh
perasaan aneh saat ikatan rambut yang berat itu tiba-tiba terlepas dari
kepalanya. Bobot yang familiar itu lenyap dalam sepersekian detik.
Di cermin, Kirana melihat kuciran rambut panjangnya yang
tebal jatuh ke pangkuannya, mendarat di atas cape barber dengan bunyi pluk yang
lembut. Yang tersisa di kepalanya hanyalah rambut yang kini menggantung
acak-acakan, panjangnya bervariasi sekitar dagu hingga leher, jauh dari panjang
sepantatnya tadi. Terlihat seperti potongan bob yang sangat tidak rapi dan
tidak rata.
Rian meletakkan kuciran yang terpotong itu di samping, lalu
mengambil sisir. Proses selanjutnya dimulai. Dengan cekatan, Rian menyisir
bagian rambut yang tersisa, mengangkat sebagian dengan sisir, lalu mengarahkan
clipper kembali.
BZZZ!
Suara clipper kembali terdengar, kali ini lebih sering dan
lebih cepat.
Ia bekerja di bagian samping dan belakang kepala Kirana
terlebih dahulu. Sisir menahan rambut, clipper mengikuti di belakangnya,
memangkas helai demi helai dengan presisi. Kirana bisa merasakan getaran
clipper yang terkadang sangat dekat dengan kulit kepalanya, sensasi geli saat
rambut-rambut pendek berjatuhan di sekitar lehernya, masuk ke dalam cape. Udara
terasa lebih sejuk di area leher dan belakang telinganya yang kini mulai
terekspos.
Di cermin, transformasi itu terlihat jelas dan cepat. Rambut
di sisi kepala dan bagian belakang menipis dengan drastis, memperlihatkan
bentuk kepalanya yang bulat dan lekukan lehernya yang jenjang. Rambut di bagian
atas masih sedikit lebih panjang, namun Rian juga mulai memotongnya menggunakan
sisir dan clipper, membentuk belahan di tengah. Panjang rambut keseluruhan
berkurang drastis dalam hitungan menit, berubah dari bob acak-acakan menjadi
potongan pixie super pendek.
Sisi dan belakangnya kini sangat tipis, hampir memperlihatkan kulit kepala di beberapa area, sementara rambut di bagian atas hanya menyisakan beberapa sentimeter saja.
Rambut pixie Kirana yang masih agak acak-acakan di bagian atas dan tipis di samping kini akan diubah total menjadi cepak.
BZZZ!
Suara clipper kembali mendominasi, kali ini gerakan Rian lebih merata di seluruh kepala, memangkas sisa-sisa rambut yang lebih panjang, meratakan permukaannya hingga sangat pendek. Kirana bisa merasakan getaran berkepanjangan di kulit kepalanya, sensasi geli yang menyebar. Setiap sapuan clipper menghilangkan helai-helai rambut terakhir yang masih memiliki sedikit panjang, membuat kepalanya terasa semakin 'bersih'.
Setelah puas dengan panjang dasar yang dicapai oleh clipper, Rian beralih ke gunting dan sisir untuk menyempurnakan bagian atas. KRESS! KRESS! Suara gunting beradu, memotong ujung-ujung rambut yang tersisa di bagian atas kepala Kirana, membentuk kontur cepak yang rapi. Rian sesekali kembali menggunakan clipper untuk merapikan transisi antara bagian atas dan samping.
BZZZ!
Suara dengungan itu silih berganti dengan bunyi gunting, menciptakan ritme pencukuran yang intens, Rian mengambil sisir dan guntingnya
KRESS! KRESS! KRESS!
Rian mulai merapihkan bagian atas kepala Kirana dengan gunting dan gunting membentuk cepak tentara
Kirana merasakan tarikan-tarikan kecil dari sisir dan gunting, diikuti sensasi ringan saat potongan rambut jatuh.
Sentuhan akhir. Rian mengambil sabun, tissue, dan pisau cukur lurus. Rian mengambil kuas dan mengoleskannya ke sabun itu, kemudian ia mengusapkan ke pelipis dan sisi kepala Kirana, Kirana sedikit menggigil merasakan dinginnya sapuan sabun tersebut, setelah selesai Rian mengambil pisau cukurnya, Bilahnya yang tajam terlihat berkilauan di bawah cahaya lampu.
SREK... SREK...
Dengan hati-hati, ia menggunakannya untuk merapikan garis rambut di sekitar telinga, di pelipis, dan di tengkuk Kirana. Sensasi pisau cukur yang meluncur mulus di kulitnya terasa begitu berbeda—dingin, tajam, dan membuat area tersebut terasa licin sempurna. Ini adalah sentuhan paling sensual dariseluruh proses, membuat kulit kepalanya di sisi-sisi kepalanya benar-benar terbuka dan bersih dari bulu-bulu halus.
Setelah beberapa sapuan terakhir pisau cukur, Rian mematikan alat-alatnya. Hening sesaat, hanya menyisakan suara kipas angin dan detak jantung Kirana yang berdebar kencang.
Rian dengan hati-hati melepaskan cape barber dari leher Kirana. Kertas tipis yang melingkar di lehernya juga dilepas. Sisa-sisa rambut pendek yang menempel di bahu dan leher Kirana dibersihkan menggunakan kuas lembut.
Rian mundur selangkah, mengamati hasilnya."Sudah selesai,," kata Rian sambil tersenyum puas melihat hasil karyanya. " Dek Kirana sudah bisa turun."
Penampilannya berubah drastis. Ia terlihat sedikit lebih maskulin, namun anehnya, wajah manisnya tetap terlihat cantik dan malah memancarkan aura yang lebih segar. Rasanya aneh melihat dirinya seperti ini, namun pada saat yang sama, kepalanya terasa sangat ringan dan bebas, sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
"Terima kasih banyak, Mas," ucapnya pelan. Ia
turun perlahan dari kursi tinggi itu, merasakan sensasi ringan di kepalanya
yang kini hanya ditutupi rambut super pendek.
Begitu kakinya menjejak lantai, Maya langsung menghambur ke
arahnya. Tanpa basa-basi, Maya mengusap-usap kepala Kirana yang kasar karena
baru dicukur, persis seperti yang Kirana lakukan padanya tadi. Gerakan
tangannya terasa agak kasar namun penuh keakraban di kulit kepala Kirana yang
sensitif.
"Wih! Gila lu Na! Ganteng banget sekarang! Kayak perwira!" seru Maya riang, tawanya pecah.
Kirana awalnya merasa sangat malu. Rasanya aneh. Kirana
sesaat menutupi kepalanya dengan tangannya, wajahnya memerah. Tapi melihat Maya
yang tertawa lepas dan candaannya yang akrab, rasa malunya sedikit demi sedikit
menguap. Ia tersenyum, lalu balas mencubit pinggang Maya.
"Enak aja! Daripada lu, kayak biksu Shaolin!"
balas Kirana tak mau kalah, kini ikut tertawa.
Rian yang melihat interaksi akrab mereka tersenyum.
"Hei, hei, jangan gitu," katanya menengahi, nadanya lembut.
"Kalian berdua keliatan cantik dan segar kok."
Mendengar pujian dari Rian, Kirana dan Maya sama-sama
tersipu malu. Mereka berhenti saling mencubit dan mengusap kepala.
"Makasih, Mas," ujar Kirana dan Maya hampir
bersamaan, keduanya spontan mengusap kepala mereka yang kini plontos dan cepak,
merasakan sensasi kulit kepala yang halus di bawah telapak tangan mereka.
Rian tersenyum, mengangguk ke arah kamera-kamera yang
terpasang. "Oke, Dek Kirana, sekarang kita ambil foto terakhir ya. Dengan
gaya rambut yang baru ini."
Kirana mengangguk, rasa malunya sudah sedikit berkurang
berkat candaan Maya. Ia kembali berdiri di samping kursi barber, mencoba
berpose sesuai arahan Rian. Ia difoto dari depan, samping, dan belakang,
memperlihatkan potongan cepaknya yang rapi dan mengekspos lehernya. Rian juga
meminta beberapa pose yang lebih dinamis, membuat Kirana sedikit tertawa
canggung saat melakukannya.
"Nah, Dek Maya," Rian menoleh pada Maya. "Mau
ikut foto bareng teman Dek Maya? Ada tambahan bayaran lima ratus ribu kalau
bersedia."
Mata Maya langsung berbinar. "Wah, mau dong, Mas!"
serunya antusias.
Maya segera bergabung dengan Kirana. Mereka berdua berdiri
berdampingan, dua gadis manis dengan kepala super pendek, satu cepak dan satu
botak nyaris plontos, mengenakan seragam sekolah. Mereka berpose bersama dengan
berbagai gaya. Ada yang formal, ada yang konyol, ada yang akrab. Di satu momen,
sesuai arahan Rian, mereka saling memegang kepala satu sama lain—Maya mengusap
kepala cepak Kirana, dan Kirana mengelus kepala botak Maya. Mereka tertawa geli
saat melakukan pose itu, momen persahabatan mereka terasa hangat di tengah
suasana barbershop.
Setelah dirasa cukup, Rian menghentikan sesi foto. "Sip! Sudah selesai," katanya.
Kirana dan Maya segera mengambil kembali ciput dan jilbab
mereka yang tadi diletakkan di meja. Dengan gerakan yang kini terasa berbeda,
mereka menutupi kepala mereka yang baru saja berubah total. Rambut pendek itu
terasa aneh di bawah ciput dan jilbab, tidak ada lagi volume tebal yang biasa.
Rian menghampiri mereka dengan dua amplop di tangan. Ia
menyerahkan amplop yang lebih tebal kepada Kirana. "Ini untuk Dek Kirana.
Totalnya enam juta rupiah, sesuai kesepakatan tadi."
Kirana menerima amplop itu, matanya berbinar. Rasanya tebal
dan berat. Ia membayangkan ponsel baru itu, dan sisa uang yang bisa ia tabung.
Senyum lebar terukir di wajahnya.
Kemudian Rian memberikan amplop yang lebih tipis kepada
Maya. "Dan ini untuk Dek Maya, tambahan bayaran untuk sesi foto
tadi."
"Makasih banyak, Mas!" ucap Maya riang sambil
menerima amplopnya.
"Sama-sama. Terima kasih kembali ya, Dek Kirana, Dek
Maya," kata Rian ramah. "Senang bisa bekerja sama dengan
kalian."
Kirana dan Maya mengucapkan terima kasih sekali lagi, lalu berjalan menuju pintu keluar barbershop.
Begitu mereka melangkah keluar, udara sore langsung
menyambut. Mereka berjalan beriringan di trotoar.
"Gila, Na! Enam juta! Banyak banget!" seru Maya,
masih takjub.
Kirana tersenyum lebar, memegang erat amplop di tangannya.
"Iya, May! Nggak nyangka bisa dapet sebanyak ini." Ia melihat ke
belakang, ke arah barbershop Rian. "Kayaknya kalau rambut gua udah panjang
lagi, gua mau ke sini lagi deh."
Maya menoleh, matanya berbinar penuh harap. "Beneran?
Ajak-ajak gua ya, Na!" Ia merapatkan jilbabnya sedikit. "Jujur aja,
gua agak malu kalau sendirian jadi model gitu."
Kirana terkekeh, menyadari sisi Maya yang satu ini.
"Pasti dong, May! Kan kita temen," jawabnya tulus.
Mereka berdua tertawa bersama, berjalan pulang dengan langkah ringan, masing-masing membawa amplop berisi uang dan kepala dengan gaya rambut super pendek yang tersembunyi di balik jilbab mereka.
Komentar
Posting Komentar