Sewa Dibayar Rambut di Kepala
Pagi itu, mentari baru saja menyengat, tapi hawa di sekitar kos-kosan sudah terasa gerah. Arman, dengan kaus merah longgar dan celana panjang kain yang sedikit kusut namun tetap rapi, melangkah santai menyusuri lorong petak-petak kamar.
Usia Arman baru 24 tahun, sarjana yang belum lama merayakan kelulusannya itu baru itu kini harus melaksanakan mandat Ayahnya untuk mengurus kosan, warisan kakeknya. Matanya dengan jeli, memastikan semuanya tertata tanpa masalah. Ini hari pertamanya resmi jadi pengurus, dan ia ingin terlihat cekatan, meski sebenarnya ia lebih suka bersantai di balik laptopnya.
Baru saja ia hendak memeriksa kran air di ujung lorong, sebuah pintu di salah satu petak terbuka. Sesosok gadis mungil keluar, membawa ember dan alat cuci. Rambutnya hitam legam, panjangnya menjuntai hingga pantat, diikat asal-asalan namun tetap terlihat tebal dan indah. Wajahnya manis, sebenarnya, tapi tertutup oleh raut lelah dan pakaiannya yang sederhana, bahkan sedikit lusuh: rok hitam selutut dan kaus kuning yang sudah agak pudar. Ia tampak seperti tipikal gadis perantau yang berjuang sendirian di kota besar.
Gadis itu menoleh, matanya menangkap sosok Arman yang asing. Ia mengerutkan kening. "Maaf, kayaknya saya baru pertama lihat mas di sekitar sini. Ada yang bisa saya bantu?" suaranya lembut, ada sedikit aksen daerah yang samar.
Arman tersenyum tipis, sorot matanya menelusuri rambut panjang gadis itu sesaat, sebelum kembali ke wajahnya. "Oh, maaf, Saya belum memperkenalkan diri, nama saya Arman. Saya pengurus kos yang baru. Cucu Pak Haji Badrun." Ia mengulurkan tangan.
Gadis itu sedikit terkejut, namun membalas uluran tangan Arman dengan ragu. Tangannya terasa kasar dan dingin. "Oh, begitu, nama saya Wati." Ia menarik tangannya cepat. "Saya tinggal belum terlalu lama di sini."
"Wati, ya?" Arman mengangguk. "Setelah lulus kuliah Ayah saya minta saya urus kos-kosan ini. Lumayan buat mengisi waktu." Ia terkekeh ringan. "Wati sendiri, kuliah di mana atau kerja apa, nih?" Arman mencoba basa-basi, padahal matanya terusik oleh keindahan rambut hitam yang bergerak setiap Wati sedikit menoleh.
Wati menunduk sedikit, ada semburat malu di wajah manisnya. "Saya... saya nggak kuliah, Mas. Saya cuma buruh cuci harian. Cuci keliling, dari rumah ke rumah." Ia menggaruk lengan dengan canggung.
"Oh, begitu, semangat ya Mbak! Nanti kalau butuh sesuatu terkait urusan Kos-kosan bilang ke saya saja." Arman mengacungkan jempolnya. Ia tak berkomentar lebih jauh, "Baik Mas, terima kasih," balas Wati dengan senyum ramah, "kalau begitu saya permisi dulu ya Mas," ucap wati sambil menganggukan kepalanya kemudain meninggalkan Arman yang masih terpaku dengan keindahan rambut Wati.
Sejak hari itu, interaksi antara Arman dan Wati menjadi bagian dari rutinitas harian di kosan. Arman sering melihat Wati keluar dengan pakaian lusuh dan ember cuciannya, berangkat kerja di pagi hari, dan kembali di sore hari dengan langkah gontai. Sesekali mereka berpapasan, Arman akan menyapa dengan senyum ramah, menanyakan kabar atau sekadar basa-basi tentang cuaca. Wati akan membalas seadanya, dengan senyum tipis yang jarang sekali mencapai matanya.
Arman selalu menemukan dirinya mencuri pandang pada rambut panjang Wati yang hitam legam. Entah diikat kuncir kuda tinggi, dikepang dua, atau sesekali dibiarkan terurai bebas saat Wati sedang menyapu teras kamar. Rambut itu tampak begitu tebal, lembut, dan sehat, sebuah kontras yang mencolok dengan penampilannya yang lain. Ia membayangkan bagaimana rasanya menyentuh helaian panjang itu, merasakan bebannya di tangannya. Sebuah fantasi nakal yang selalu ia singkirkan cepat-cepat.
Dan bersamaan dengan berlalunya waktu, tunggakan sewa Wati juga menumpuk. Satu bulan, dua bulan, dan kini sudah memasuki bulan ketiga. Totalnya sudah mencapai satu setengah juta rupiah. Arman sudah beberapa kali mencoba mengingatkan, tapi Wati selalu menghindar atau berjanji akan segera membayar.
Pagi itu, seperti biasa, Wati sudah bersiap berangkat kerja. Ia baru saja mengunci pintu kamarnya ketika Arman muncul di lorong, langkahnya mantap, ekspresinya serius.
"Mbak," sapanya, tanpa senyum.
Wati menoleh, raut wajahnya langsung berubah cemas. Ia tahu mengapa Arman mendatanginya. "I-iya, Mas?"
"Sudah tiga bulan, Mbak. Sewa kosnya belum dibayar," Arman berkata langsung, matanya lurus menatap Wati. "Total satu setengah juta, Mbak. Bagaimana ini?"
Wati menunduk, jemarinya meremas tali ember cucian. "Maaf, Mas. Saya... saya belum ada uang. Pekerjaan lagi sepi." Suaranya nyaris berbisik.
"Apa Wati tidak bisa pinjam dulu ke teman atau saudara?" Arman bertanya, nadanya bukan lagi ramah, melainkan lebih menuntut.
Wati menggeleng pelan, air muka semakin merana. "Saya nggak punya sanak saudara di sini, Mas. Teman juga... tidak ada yang bisa saya pinjami uang sebanyak itu."
Hening sejenak. Arman menatap rambut Wati yang terurai, panjang dan indah. Sebuah ide, sebuah pemikiran kotor yang sudah lama bersarang di benaknya, kini muncul ke permukaan. Sebuah senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibirnya.
"Begini saja, Wati," Arman berkata, suaranya kini melunak, namun ada nada berbahaya di dalamnya. "Saya ada tawaran. Bagaimana kalau Wati izinkan saya memotong rambut Mbak?" Ia melirik rambut panjang Wati dari atas ke bawah. "Kalau Mbak bersedia, tunggakan sewa Mbak bulan ini akan saya lunasi."
Wati terkesiap. Matanya membelalak kaget. Rambutnya adalah satu-satunya kebanggaannya, harta karunnya yang paling pribadi. Ia meremas ujung rambutnya sendiri, seolah melindunginya. "M-memotong rambut saya, Mas?"
"Iya," Arman mengangguk santai. "Bagaimana? Toh, Mbak juga tidak punya pilihan lain, kan? Daripada diusir dari sini?" Ia mengucap kalimat terakhir dengan nada yang lebih dingin, membuat Wati bergidik.
Wati terdiam, menimbang. Diusir? Kembali ke desa tanpa apa-apa? Atau menyerahkan rambutnya? Pilihan itu terasa berat, namun ia tahu, Arman benar. Ia tidak punya pilihan. Perlahan, ia mengangguk pasrah.
"Baik, Mas. Saya... saya bersedia." Suaranya nyaris tak terdengar.
"Bagus," Arman tersenyum puas. "Nanti sore, Wati datang ke rumah saya. Di samping kosan ini, ya. Saya tunggu."
Sore harinya, Wati melangkah dengan langkah berat menuju rumah Arman. Jantungnya berdebar tak karuan, bercampur antara cemas dan rasa penasaran yang aneh. Ia mengetuk pintu, dan Arman langsung membukanya.
"Wati, masuk saja," sambut Arman, senyumnya kini kembali ramah, namun ada kilatan aneh di matanya yang membuat Wati sedikit bergidik.
Wati melangkah masuk. Ruang tengah rumah Arman terasa sepi, namun di tengah-tengah ruangan, ia melihat sebuah kursi tunggal diletakkan, dan di atas meja kecil di sampingnya, tergeletak beberapa alat potong rambut: gunting besar yang mengilat, clipper dengan berbagai ukuran mata pisau, dan sebuah sisir. Semuanya tampak baru dan tajam.
"Silakan duduk, Wati," Arman menunjuk kursi.
Wati duduk perlahan, tatapannya tak bisa lepas dari peralatan di meja. Arman mengambil sebuah cape barber transparan, yang membuat Wati bisa melihat tubuhnya sendiri di balik kain tipis itu. Arman memakaikannya dengan erat di leher Wati, memastikan tak ada sehelai rambut pun yang bisa menyelinap keluar.
"Rambut Wati ini indah sekali, ya," Arman berbisik, jemarinya menyusup ke sela-sela helaian rambut hitam Wati, mengelusnya lembut dari pangkal hingga ujung. Wati merinding, bukan karena dingin, melainkan karena sentuhan Arman yang tiba-tiba terasa begitu sensual. Arman menunduk, menghirup aroma rambut Wati dalam-dalam. "Hmm, wangi sekali..." Ia menciuminya berulang kali, di tengkuk, di bahu, dan di ujung-ujung rambut. Wati menahan napas, tubuhnya kaku.
"Ma-mas..." Wati berbisik, mencoba protes, namun suaranya tercekat.
Arman tak peduli, ia terus membelai dan menciumi rambut Wati, seolah sedang menikmati santapan paling lezat. Setelah puas dengan 'pemanasan' itu, ia meraih sisir, menyisir seluruh rambut panjang Wati ke belakang. Kemudian, dengan cekatan, ia mengumpulkan seluruh helaian rambut Wati di tengkuk, mengikatnya kuat-kuat menjadi sebuah kuncir kuda yang tebal.
"Siap, Mbak?" Arman bertanya, suaranya rendah, penuh antisipasi.
Wati hanya bisa mengangguk, matanya terpejam. Ia bisa merasakan tarikan kuat pada kulit kepalanya saat kunciran itu diikat.
Arman mengangkat gunting. Kilaunya memantul di mata Wati yang setengah terbuka. Gunting itu mendekat, mendekat, tepat di bawah ikatan kuncir.
KRESS!
Sebuah suara memotong yang tajam dan final. Wati merasakan hentakan di kepalanya, lalu sebuah beban berat terlepas dari tengkuknya. Ia membuka mata, melihat kunciran rambutnya yang tebal, hitam, dan panjang itu kini tergeletak di tangan Arman. Rambutnya yang tadinya menjuntai hingga pantat, kini hanya sampai sebatas leher, jatuh membentuk potongan bob pendek yang tak beraturan. Sebuah sensasi aneh menjalar di kulit kepalanya, terasa ringan dan kosong. Jantungnya berdenyut nyeri.
Arman tersenyum lebar, mengangkat kunciran itu tinggi-tinggi, lalu menjatuhkannya ke pangkuan Wati. "Ini tanda lunasnya, Mbak," katanya dengan nada puas. "Cantik sekali."
Wati menatap kunciran rambutnya di pangkuan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Rambut yang selama ini ia rawat, kini hanya seonggok benda tak bernyawa di pangkuannya.
Arman tak memberinya waktu untuk meratapi. Ia mengambil sisir, membagi rambut Wati yang kini sebatas leher menjadi tiga bagian. Dua di samping, dan satu di tengah. Ia menjepitnya kuat-kuat. Kemudian, ia meraih clipper.
BZZZZZZZZZ!
Suara mesin cukur itu mengaum, memekakkan telinga Wati. Ia merasakan getaran di kulit kepalanya saat Arman mulai mengarahkan clipper ke tengkuknya.
"Wati tenang saja," Arman berbisik di telinga Wati, suaranya terasa dekat dan intim. "Ini belum selesai."
Clipper itu bergerak naik, melucuti setiap helai rambut di tengkuk Wati. BZZZZZZZZZ! Wati merasakan hawa dingin menerpa kulit tengkuknya yang kini telanjang. Sebuah sensasi geli bercampur ngilu. Ia bisa merasakan bulu kuduknya berdiri, bukan karena dingin, melainkan karena sensasi aneh dari kepala yang dicukur. Ia merasakan setiap gesekan mata pisau yang memangkas rambutnya hingga sangat pendek, nyaris botak di area tengkuk. Ia menahan napas, tubuhnya bergetar.
Arman melepas jepitan rambut Wati satu per satu. Rambutnya yang kini sebatas leher, jatuh tergerai, menutupi area tengkuk yang kini sudah cepak. Potongan bob itu terlihat berantakan, tidak rata.
Arman meraih gunting lagi, kali ini untuk merapikan. Ia mengangkat sebagian rambut Wati, mengarahkannya ke arah dagu. KRESS! KRESS! KRESS! Setiap potongan terasa seperti pukulan kecil di hati Wati. Rambutnya yang tadinya sebatas leher, kini dipangkas lagi, menjadi potongan bob yang sangat pendek, hanya sebatas dagu. Sebuah gaya yang sama sekali belum pernah ia bayangkan akan ia miliki.
Akhirnya, Arman meletakkan gunting. Ia menyisir rambut Wati yang kini sangat pendek, memastikan tidak ada lagi helai yang terlalu panjang.
Wati menatap bayangannya di cermin yang diulurkan Arman. Ia terkejut. Sangat terkejut. Rambutnya! Yang tadinya panjang menjuntai, kini hanya sebatas dagu, dengan tengkuk yang cepak. Penampilannya berubah drastis. Ada rasa tidak nyaman, tidak biasa, seperti bukan dirinya lagi. Namun, di balik itu, ada juga perasaan lega yang aneh. Ia tidak jadi diusir. Ia masih punya tempat berteduh.
Arman tersenyum puas. "Nah, cantik sekali, Wati. Silakan pulang."
Wati berdiri, tubuhnya masih terasa kaku. Ia melangkah perlahan menuju pintu. Saat tangannya sudah memegang kenop, suara Arman menghentikannya.
"Oh, satu lagi, Wati," Arman berkata, ia sudah berdiri di belakang Wati, tangannya meraih rambut Wati yang baru dipotong, mengelusnya lembut. "Bulan depan, sewa kosnya harus lunas, ya. Kalau tidak..." Suaranya merendah, menjadi ancaman yang sangat jelas. "Saya akan ambil semuanya, dan kepala Wati akan saya licinkan dengan pisau cukur. Sampai botak total."
Wati bergidik. Ia menelan ludah, mengangguk cepat tanpa berani menoleh. Ia segera keluar dari rumah Arman, rasa dingin di kepalanya terasa lebih menusuk daripada hawa malam.
Keesokan harinya, saat Wati berkeliling mencari pelanggan cucian, beberapa pelanggannya langsung menyadari perubahan drastis pada gaya rambutnya.
"Lho, Nduk Wati! Rambutnya kok pendek sekali?" seorang ibu bertanya, terkejut. "Padahal kan bagus lho, panjang begitu."
Wati hanya tersenyum tipis, mencoba terlihat santai. "Iya, Bu. Lagi pengen pendek saja. Biar lebih segar." Ia berkilah, berusaha menyembunyikan kenyataan pahit di balik penampilannya yang baru.
Sebulan berlalu. Wati sudah bekerja keras, pagi hingga malam, namun uang yang terkumpul tidak cukup. Adiknya di kampung sakit, dan semua uangnya terpakai untuk biaya pengobatan dan sekolah adiknya. Ia tahu konsekuensinya. Ia tahu apa yang akan terjadi.
Kali ini, Wati tidak menunggu Arman datang menagih. Dengan langkah gontai dan hati yang berat, ia mendatangi rumah Arman di sore hari. Ia berharap bisa meminta belas kasihan, mungkin Arman akan memberinya kelonggaran lagi.
Arman membuka pintu, senyumnya menyambut, seolah sudah tahu kedatangan Wati. "Wati? Silakan masuk."
Wati melangkah masuk, duduk di sofa ruang tamu yang nyaman. Arman duduk di depannya, menatap Wati dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ada apa, Wati?" Arman bertanya, nadanya lembut, namun matanya memancarkan sesuatu yang tajam.
Wati menunduk. "Maaf, Mas. Saya... saya belum bisa membayar sewa kos bulan ini." Suaranya bergetar. "Uang saya habis untuk biaya adik saya sakit."
Arman mengangguk pelan. "Begitu, ya." Ia terdiam sejenak. "Baiklah. Saya punya penawaran lain."
Wati mengangkat kepala, ada secercah harapan. "Penawaran apa, Mas?"
Arman bersandar santai di sofa. "Kali ini, jika Wati mau mematuhi semua perintah saya, semua sewa kos Mbak bulan ini akan saya lunasi. Bahkan mungkin untuk beberapa bulan ke depan." Ia tersenyum, senyumnya terasa seperti jebakan manis.
Wati ragu. Perintah? Perintah apa? Pengalaman potong rambutnya bulan lalu masih membekas. "Perintah apa, Mas?" tanyanya hati-hati.
"Perintah saya," Arman mengulang, nadanya kini sedikit lebih keras. "Atau Wati bisa angkat kaki dari kosan saya. Sekarang juga. Kecuali kalau Wati punya uang sewa yang bisa dibayar."
Ancaman itu menghantam Wati telak. Diusir? Kembali menjadi gelandangan? Tidak punya tempat pulang? Ia sudah terlalu jauh meninggalkan kehidupannya di desa. Ia tidak punya pilihan. Ia harus bertahan. Wati memejamkan mata, menghela napas panjang, dan mengangguk pasrah.
"Baik, Mas. Saya... saya akan menurut."
Senyum Arman melebar. "Bagus." Matanya kini terpaku pada kepala Wati. "Saya ingin mencukur kepala Wati sampai licin. Sampai tidak ada sehelai rambut pun."
Deg! Jantung Wati serasa jatuh ke perut. Gundul licin? Ia sudah menduga akan ada sesuatu tentang rambutnya, tapi tidak sampai segundul itu! Ia sudah sangat terkejut saat rambutnya dipotong pendek, apalagi ini.
"Tidak, Mas! Jangan!" Wati langsung bersimpuh, memeluk kaki Arman. Air mata langsung membanjiri pipinya. "Tolong, Mas! Jangan digunduli! Jangan! Saya mohon!"
Arman menarik kakinya, menatap Wati dengan dingin. "Wati punya dua pilihan. Menurutinya, atau meninggalkan kosan saya. Sekarang juga."
Wati mendongak, menatap Arman dengan tatapan memohon yang putus asa. Ia melihat ketegasan di mata pria itu, tidak ada sedikit pun keraguan. Ia tahu Arman tidak main-main. Rasa sakit dan malu bercampur aduk, namun ia tidak punya daya. Ia akhirnya menyerah.
"Baik, Mas," Wati berbisik, suaranya parau oleh tangis. "Saya akan menurut."
"Bagus," Arman tersenyum puas. Ia berdiri. "Sekarang, Wati mandi dulu. Saya sudah siapkan sampo mahal dan handuk bersih di kamar mandi."
Wati mengangguk, terhuyung berdiri, dan melangkah menuju kamar mandi yang ditunjuk Arman. Ia mandi, membasahi rambutnya yang kini pendek, menggosokkan sampo beraroma mewah yang diberikan Arman. Air hangat terasa menenangkan, namun tidak bisa menghilangkan kegelisahan di hatinya. Setelah selesai, ia membungkus tubuhnya hanya dengan handuk.
Ia mengintip dari balik pintu kamar mandi, ragu-ragu. "Mas?"
"Iya, Mbak?" Arman menjawab dari ruang tengah.
"Saya... saya lupa bawa baju ganti, Mas. Terburu-buru tadi. Apa Mas ada pinjaman baju?" Wati bertanya, sedikit malu.
Arman terkekeh. "Tidak perlu, Wati. Wati tidak butuh baju ganti."
Wati mengerutkan kening. "Maksud Mas?"
"Saya ingin Wati dicukur tanpa busana," Arman menjawab santai, namun dengan nada yang tak terbantahkan.
Mata Wati membelalak. "Apa?! Itu... itu berlebihan, Mas! Saya tidak mau!" Ia merasa harga dirinya diinjak-injak.
"Wati sudah lupa kesepakatan kita?" Arman mengingatkan, suaranya kini dingin. "Wati sudah setuju untuk menuruti semua perintah saya."
Wati terdiam. Tubuhnya bergetar. Ia menahan perasaannya yang kacau, rasa malu, marah, dan putus asa. Pada akhirnya, ia hanya bisa menghela napas panjang dan mengangguk. Ia harus menurut.
Ia melangkah keluar dari kamar mandi, masih terbalut handuk. Arman sudah menyiapkan kursi yang sama seperti sebelumnya.
"Duduklah, Wati," Arman memerintah.
Wati duduk perlahan. Arman mengambil hairdryer dan handuk bersih lainnya, mulai mengeringkan rambut Wati yang pendek. Angin hangat berhembus di kulit kepalanya. Jemari Arman menyisir rambutnya yang basah, mengeringkannya dengan lembut.
Setelah rambut Wati benar-benar kering, Arman meletakkan hairdryer. Ia kembali membelai rambut Wati, memainkannya di antara jemarinya, menciuminya lagi di tengkuk dan di atas kepala. Ia menghirup dalam-dalam aroma rambut Wati, seolah ingin merekamnya untuk terakhir kali. Wati menutup mata, merasakan sentuhan Arman yang terasa aneh, antara jijik dan entah mengapa, sedikit membuat ia merinding.
Setelah puas menikmati rambut Wati, Arman meraih handuk yang melilit tubuh Wati. Perlahan, ia menariknya hingga terlepas, memperlihatkan tubuh polos Wati di balik cape barber transparan. Wati menahan napas, matanya terpejam rapat. Rasa malu membakar pipinya.
Arman memasang cape barber transparan itu di leher Wati, memastikan tubuh polosnya terlihat jelas di balik kain tipis itu. Ia meraih clipper.
BZZZZZZZZZ!
Suara itu kembali mengaum. Arman mulai mengarahkan clipper ke kepala Wati. Ia memulainya dari belakang, dari tengkuk, bergerak naik.
BZZZZZZZZZ!
Rambut-rambut pendek Wati langsung rontok, jatuh ke lantai. Wati merasakan sensasi kulit kepala yang tiba-tiba telanjang, dingin, dan geli. Clipper itu bergerak tanpa ampun, dari belakang ke atas, lalu dari samping, melucuti setiap helai rambut yang tersisa.
BZZZZZZZZZ!
Wati merasakan kepalanya semakin ringan, semakin kosong. Ia bisa merasakan mata pisau yang bergerak cepat di kulit kepalanya, meninggalkan sensasi berdenyut.
Tidak butuh waktu lama, rambut Wati yang tadinya bob pendek, kini menjadi cepak, nyaris botak. Kulit kepalanya terlihat jelas, putih pucat.
Arman mematikan clipper. Ia menyeringai puas. "Sekarang, bagian terakhir."
Ia mengambil botol busa cukur, memencetnya, dan mengoleskan busa tebal itu ke seluruh kepala Wati. Sensasi dingin dan lembut menyelimuti kulit kepala Wati. Kemudian, Arman meraih pisau cukur.
Srek... Srek...
Pisau itu mulai bekerja, mengikis busa dan sisa-sisa rambut tipis di kepala Wati.
Srek... Srek...
Wati bisa merasakan bilah tajam itu bergerak di kulit kepalanya, sensasi yang asing, namun anehnya terasa memuaskan bagi Arman. Ia mulai dari bagian atas kepala Wati, membuka kulit kepala Wati yang mulus dan putih.
Srek... Srek...
Wati meringis kecil saat pisau itu terasa agak menggaruk kulit kepalanya.
Arman membungkukkan telinga Wati, mencukur bersih bagian samping kepala Wati hingga licin dan berkilat.
Srek... Srek...
Kemudian, Wati menundukkan dagunya ke dada, dan Arman menyempurnakan cukurannya di bagian belakang kepala Wati, membuat garis-garis mulus yang kini tidak lagi ditutupi rambut.
Srek... Srek...
Akhirnya, pisau cukur itu diletakkan. Seluruh kepala Wati kini gundul, licin, dan berkilat. Tidak ada lagi sehelai rambut pun yang tersisa.
Arman mengangkat cermin di depan Wati. Wati menatap pantulan dirinya. Kepala yang tadinya ditutupi rambut panjang, lalu bob pendek, kini gundul licin. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan wajahnya di balik rambut. Ia melihat pantulan dirinya yang telanjang di balik cape transparan, kepalanya botak, tubuhnya yang mungil dan polos.
Air mata Wati kembali tumpah, kali ini lebih deras dari sebelumnya. Ia merasakan kehampaan yang luar biasa. Rasa terpuruk menghantamnya. Mahkotanya, satu-satunya kebanggaannya, kini hilang. Ia mengusap-usap kepalanya yang licin, sensasi kulit telanjang itu terasa begitu asing dan menyedihkan.
Melihat keadaan Wati yang terpuruk, Arman mendekat. "Wati," bisiknya, suaranya kini kembali lembut, sensual, dan penuh rayuan. Ia membelai kepala Wati yang gundul. "Jangan sedih begitu. Saya punya cara lain untuk melunasi sewa Mbak. Bagaimana kalau... Mbak tidur sama saya malam ini? Saya akan bayar lebih dari sekadar sewa kos."
Wati mendongak, matanya yang basah menatap Arman. Ia sudah putus asa. Ia sudah pasrah. Harga dirinya sudah terkoyak. Tidak ada lagi yang bisa ia pertahankan. Perlahan, dengan berat hati, ia mengangguk.
Arman tersenyum puas. Ia melepas cape barber transparan dari leher Wati, membiarkannya jatuh ke lantai. Wati kini benar-benar telanjang. Arman meraih tangan Wati, membimbingnya menuju kamar tidur.
Wati melangkah dengan tubuh kaku, jantungnya berdebar kencang. Ini pertama kalinya. Pertama kalinya ia akan melakukan hal ini.
Sesampainya di kamar, Arman membaringkan Wati di tempat tidur. Ia membungkuk, menjilati tengkuk Wati yang kini gundul, merasakan kulit mulus itu di lidahnya. Kemudian, ia menjilati seluruh kepala Wati yang licin, dari ubun-ubun hingga dahi, mengelilingi setiap lekuknya. Sensasi lidah Arman di kulit kepalanya yang sensitif membuat Wati merinding, tubuhnya bereaksi aneh, antara jijik dan geli, namun ada juga sedikit getaran aneh yang mulai menjalar.
Arman mencium bibir Wati dengan lembut, lalu turun ke leher, ke dada, terus ke bawah. Wati memejamkan mata, membiarkan Arman melakukan apa pun yang ia mau. Ia merasa tubuhnya sendiri terasa sangat asing, terbuka begitu saja di depan pria ini. Ia merasakan sentuhan Arman di setiap inci tubuhnya. Tangannya meraba pinggang Wati, lalu membelai paha dalamnya. Tubuh Wati yang mungil terasa begitu panas di bawah sentuhan Arman.
Arman memosisikan dirinya di atas Wati, mengangkat kedua kaki Wati, dan perlahan, ia mulai memasuki Wati.
PLOP!
Sebuah desakan kuat terasa. Wati memekik kecil, matanya membelalak. Rasa sakit menusuk, seperti ada sesuatu yang robek di dalam dirinya. Darah hangat mengalir dari antara kedua pahanya. Ini adalah pertama kalinya Wati melakukan hubungan seks. Ia meringis, air mata kembali menetes.
"Sakit, Mas..." Wati berbisik.
Arman berhenti sejenak, mencium kening Wati. "Sebentar saja, Sayang. Nanti enak."
PLOP!PLOP!
Ia memulai gerakan pelan, maju mundur. Rasa sakit itu perlahan tergantikan oleh sensasi yang aneh, geli, dan perlahan, sedikit demi sedikit, Wati mulai merasakan kenikmatan yang belum pernah ia bayangkan. Tubuhnya yang mungil terasa begitu penuh oleh Arman. Ia merasakan setiap gesekan kulit dan desakan di dalam dirinya.
Arman terus bergerak, memaju-mundurkan pinggulnya, membuat Wati mengerang pelan. Ia menyuruh Wati untuk menungging. Wati menurut, memposisikan dirinya dengan kedua tangan dan lutut menopang tubuhnya. Pantatnya yang mungil terangkat, memperlihatkan liang anusnya yang sempit.
Arman tersenyum nakal. Ia meludahi jemarinya, lalu perlahan memasukkan satu jarinya ke dalam anus Wati. Wati terkesiap, tubuhnya menegang. Sensasi itu sangat asing, namun entah mengapa, membuat ia semakin terangsang. Arman memainkan jarinya di dalam, membuat Wati bernapas terengah-engah.
Setelah itu, tanpa peringatan, Arman memosisikan penisnya, dan mendorongnya masuk.
PLOP!
"Aaah!" Wati memekik kaget, tubuhnya melengkung. Rasa sakit yang tajam kembali menusuk, lebih intens dari sebelumnya. Ia merasakan sesuatu yang besar dan panas menembus bagian tubuhnya yang belum pernah tersentuh. Ia menggigit bibirnya, menahan tangis.
Arman mencium punggung Wati, mengelus pinggulnya. Ia menggerakkan pinggulnya perlahan,
PLOP!PLOP!PLOP!
Arman semakin cepat, memaju-mundurkan penisnya di dalam anus Wati. Wati merasakan tubuhnya bergetar, setiap desakan Arman membuat ia merasakan kenikmatan yang aneh dan terlarang. Arman menaikkan posisi pinggul Wati, membuat mereka semakin dalam dalam posisi doggystyle. Wati mengerang, matanya terpejam, menikmati setiap dorongan yang kini terasa semakin memabukkan. Keringat membasahi tubuhnya, bercampur dengan air mata yang entah mengapa kini terasa seperti air mata kebahagiaan yang aneh.
Setelah semuanya selesai, Arman memeluk Wati yang terbaring lemas di sampingnya. Ia mencium kepala Wati yang gundul.
"Bagaimana kalau besok kita ke KUA, Wati?" Arman berbisik di telinga Wati.
Wati membuka mata. Menikah? Secepat ini? Ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Rambutnya sudah hilang, tubuhnya sudah diserahkan. Ia merasa tidak punya pilihan lain. Ia sudah menyerah.
"I-iya, Mas," Wati mengangguk, suaranya serak.
Keesokan harinya, Wati dan Arman datang ke Kantor Urusan Agama. Wati mengenakan jilbab yang diberikan Arman, menutupi kepalanya yang kini gundul licin. Tidak ada yang tahu bahwa di balik kain itu, kepalanya benar-benar botak. Prosesnya cepat, sederhana. Mereka mengucapkan ijab kabul, dan Wati resmi menjadi istri Arman.
Keluarga Arman dan Wati tentu saja terkejut mendengar pernikahan mendadak ini. Terlebih lagi keluarga Wati di desa yang tidak tahu menahu tentang semua yang telah terjadi. Namun, pada akhirnya, mereka semua tetap mendukung keputusan pasangan muda ini.
Setelah ikatan pernikahan itu disahkan, kehidupan Wati berputar 180 derajat. Ia yang dulu kurus kering, kini terlihat lebih berisi. Pipinya tembam, tubuhnya lebih proporsional, memancarkan aura seorang wanita yang terawat dan bahagia. Rambutnya, yang kini selalu dicukur cepak atau sesekali digunduli licin oleh Arman, tertutup rapi di balik jilbabnya setiap kali ia keluar rumah. Tidak ada seorang pun di luar sana yang tahu bahwa di balik kain itu, kepalanya botak licin, sebuah rahasia intim yang hanya diketahui Arman. Arman sendiri menyimpan kuciran rambut panjang Wati yang pertama kali ia potong, sebuah trofi berharga yang ia jaga sebagai pengingat akan masa lalu istrinya.
Pada awalnya, ada kecanggungan yang kentara di antara mereka. Wati masih membawa sisa-sisa rasa takut dan rasa malu dari perjanjian awal mereka. Ia patuh, tapi kaku, seperti boneka yang digerakkan benang. Setiap sentuhan Arman, setiap tatapannya, masih terasa seperti perintah yang harus dipatuhi. Arman menyadarinya, namun ia tidak terburu-buru. Ia tahu, waktu dan sentuhan akan meluluhkan kekakuan itu.
Arman mulai mengajari Wati seluk-beluk pengelolaan kos-kosan. Dengan sabar, ia menjelaskan detail-detail pemasukan dan pengeluaran, bagaimana menagih sewa dari penghuni lain, dan cara merawat fasilitas. Arman sempat ragu, mengingat latar belakang Wati yang hanya lulusan SMP. Namun, di luar dugaan, Wati belajar dengan sangat cepat. Otaknya ternyata cerdas, ia mampu menyerap informasi dengan baik dan menerapkannya dalam praktik. Ia tak lagi sekadar buruh cuci lusuh, ia kini seorang 'ibu kos' yang cekatan.
Tak lama setelah itu, Arman mendapatkan pekerjaan kantoran yang ia idam-idamkan. Kesibukan barunya membuat Arman lebih jarang berada di kosan. Inilah saatnya. Arman menyerahkan sepenuhnya kepengurusan kos-kosan kepada Wati. Wati kini adalah sang ibu kos sejati. Ia mengurus semuanya dengan baik, menangani keluhan penghuni, dan memastikan setiap kamar terisi. Ia mulai merasa memiliki, merasa punya tujuan baru yang lebih besar dari sekadar mencari nafkah untuk hari itu.
Hubungan mereka pun berkembang. Arman mulai memanggil Wati dengan panggilan sayang yang lembut, "Sayang," atau "Manisku." Wati awalnya masih terkejut setiap kali mendengarnya, namun lama kelamaan, panggilan itu mulai terasa nyaman, bahkan menghangatkan hatinya. Setiap malam, sebelum tidur, Arman akan selalu membelai kepala Wati yang gundul, menciuminya, sebuah rutinitas yang kini terasa seperti ritual keintiman mereka. Ia menemukan kebahagiaan dalam sentuhan itu, sebuah pengingat akan perjanjian yang mengikat mereka, namun kini diwarnai oleh kasih sayang yang tulus.
Setiap sebulan sekali, Arman akan menggunduli Wati hingga licin dan berkilat. Kadang, jika ia sedang ingin melihat sedikit rambut di kepala Wati, ia akan membiarkannya tumbuh sedikit lebih panjang, hanya untuk dinikmati oleh matanya sendiri, sebelum akhirnya kembali mencukurnya bersih. Wati tidak lagi menangis atau memohon. Ia menerima nasibnya. Ia bahkan mulai merasakan kenyamanan, semacam kebebasan, dalam sentuhan Arman di kepalanya yang gundul. Rasanya aneh, tapi di bawah belaian tangan Arman, ada rasa aman yang tak terlukiskan.
Keintiman fisik mereka juga menjadi bagian dari rutinitas. Sekitar dua hingga tiga kali dalam sebulan, Arman akan memijat tubuh Wati. Dimulai dari bahu, turun ke punggung, paha, dan bahkan kepala Wati yang gundul, jemari kuatnya akan meliuk, meredakan ketegangan dan membangkitkan gairah. Pijatan itu sering kali berakhir dengan mereka berdua di ranjang. Wati, yang awalnya hanya patuh, kini mulai menemukan dirinya merespons sentuhan Arman dengan desahan pelan, tubuhnya menggeliat dan beradaptasi dengan setiap gerakannya. Ia menemukan kenikmatan dalam kepasrahan, dalam membiarkan Arman mengambil alih segalanya. Setiap kali usai, Arman akan memeluknya erat, menciumi keningnya, dan Wati akan merasa seolah semua beban hidupnya terangkat. Ketulusan perlahan tumbuh di hati Wati, berakar dari rasa aman dan penerimaan yang ia dapatkan dari Arman, meskipun semua bermula dari paksaan. Ia bukan lagi sekadar penyewa yang melunasi utang, ia adalah istri, pendamping, dan 'ibu kos' yang dicintai.
Setahun berlalu sejak pernikahan mereka, dan sebuah kebahagiaan baru kini mengisi rumah Arman dan Wati. Wati kini tengah hamil besar, perutnya membuncit indah. Penampilannya memancarkan aura keibuan yang kuat; wajahnya merona, pipinya semakin tembam, dan senyumnya selalu tersungging. Rambutnya, yang selama masa kehamilan ini dibiarkan tumbuh oleh Arman sebagai bentuk apresiasi dan kehati-hatian, kini telah tumbuh menjadi potongan pixie yang manis, membingkai wajahnya dengan lembut, menutupi sebagian telinga dan tengkuknya.
Arman memasuki kamar, melihat Wati duduk di tepi ranjang, tangannya lembut mengelus perutnya yang membesar.
"Manisku, lagi mikirin apa?" Arman duduk di sampingnya, mengusap perut Wati dengan lembut. Ia bisa merasakan tendangan kecil di dalamnya.
Wati menoleh, senyum manis terukir di bibirnya. "Nggak mikir apa-apa, Mas. Cuma ngerasain dia gerak-gerak terus." Matanya berbinar, penuh haru. "Nggak sabar rasanya mau ketemu dia. Kira-kira mirip siapa nanti, ya? Mirip Mas atau mirip aku?"
Arman tertawa pelan, mencium puncak kepala Wati, lalu membelai lembut rambut pixie istrinya yang mulai tumbuh itu. "Mirip Mbak, pasti. Manis kayak Wati," candanya. Lalu, matanya menunjukkan kilatan nakal yang sudah dikenal Wati. "Rambutnya sudah lumayan panjang, ya?" Ia mencium bibir Wati, penuh hasrat. "Nanti kalau si kecil sudah lahir, dan Mbak sudah pulih, kita lanjutkan ritual kita, ya? Saya sudah kangen mencukur kepala Mbak sampai licin berkilat lagi."
Wati tersipu, memukul pelan lengan Arman. "Ada-ada saja, Mas." Namun, dalam hatinya, ia tidak bisa memungkiri ada sedikit rasa penasaran dan, anehnya, antisipasi. Ia sudah terbiasa dengan sensasi itu, bahkan kadang merindukannya. Wati yang dulu hanya seorang perantau malang, kini tengah menunggu kelahiran seorang anak, perutnya membesar, dan ia melakukannya dengan kepala yang mulai berambut pendek, sebuah kebahagiaan yang tersembunyi di balik jilbabnya, hanya untuk dinikmati oleh mata suaminya.
Komentar
Posting Komentar